Menantang Nabi?
Menantang Nabi? Studi Kritis atas Fenomena Wisata ke Al-‘Ula dalam Perspektif Hadis dan Etika Keislaman
Pendahuluan
Al-‘Ula adalah sebuah kawasan bersejarah di wilayah barat laut Arab Saudi, yang kini dikembangkan sebagai destinasi wisata internasional dalam proyek besar Vision 2030 oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS). Kawasan ini dikenal karena keindahan geografisnya, situs-situs arkeologis kuno, dan reruntuhan kota Nabatea kuno, Madā’in Ṣāliḥ, yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai tempat tinggal kaum Ṡamūd, kaum Nabi Ṣāliḥ ‘alaihissalām yang dibinasakan karena mendustakan risalah Tuhannya (QS. Al-Hijr: 80–84, QS. Asy-Syu‘ara: 141–158).
Namun, seiring dengan dibukanya kawasan ini untuk publik, muncul polemik dari kalangan ulama dan kaum muslimin. Pasalnya, terdapat larangan eksplisit dari Nabi Muhammad ﷺ untuk mengunjungi tempat ini dengan tujuan rekreasi. Dalam riwayat sahih, Nabi mengingatkan umat Islam untuk tidak singgah apalagi bermalam di kawasan tersebut, kecuali dengan perasaan takut, khawatir, dan menangis atas azab yang menimpa kaum terdahulu.
Hadis Larangan Berkunjung ke Tempat Azab
Terdapat beberapa riwayat sahih yang menegaskan larangan tersebut. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ melewati al-Hijr (Madā’in Ṣāliḥ), beliau bersabda:
"Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat (kaum) yang telah diazab ini kecuali dalam keadaan menangis. Jika kalian tidak bisa menangis, maka janganlah masuk ke tempat mereka agar tidak menimpa kalian apa yang telah menimpa mereka."
(HR. Bukhari, no. 433; HR. Muslim, no. 2980)
Dalam riwayat yang lain, ketika Nabi ﷺ dan para sahabat melewati wilayah al-Hijr, mereka mengambil air dari sumur-sumur di sana. Nabi memerintahkan agar air tersebut tidak digunakan dan makanan dari air itu disuruh dibuang, karena tempat tersebut telah dilaknat dan dihancurkan oleh Allah.
Hadis-hadis ini menegaskan bahwa berwisata ke tempat-tempat azab Allah bukanlah adab Islami, kecuali untuk mengambil pelajaran (`ibrah) dan dengan sikap tunduk serta khawatir kepada azab-Nya.
Transformasi Al-‘Ula: Wisata atau Penentangan?
Kini, Al-‘Ula telah berubah menjadi pusat pariwisata yang memadukan arsitektur futuristik, pertunjukan musik, seni kontemporer, dan festival internasional seperti "Winter at Tantora" yang diadakan sejak 2018. Tempat yang dulu dikaitkan dengan laknat kini menjadi lokasi konser dan parade budaya. Ironisnya, program-program ini tidak hanya dikunjungi oleh turis asing, tetapi juga ditawarkan dalam paket wisata pasca-umrah oleh sebagian agen travel dari negara-negara muslim, termasuk Indonesia.
Apakah ini hanya bentuk “ketidaktahuan” atau “ketidakpedulian” terhadap larangan Nabi? Ataukah ini mencerminkan bentuk tantangan langsung terhadap otoritas kenabian?
Jika seseorang mengetahui larangan Nabi Muhammad ﷺ, namun sengaja mendatangi tempat tersebut dengan tujuan rekreatif, apakah ini bukan bentuk penentangan terhadap sunnah Nabi?
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menyatakan bahwa tempat-tempat yang disebut dalam hadis sebagai mahallul ‘adzab (tempat diturunkannya azab) harus ditanggapi dengan rasa takut dan kewaspadaan, bukan dengan sikap sembrono atau hiburan.
“Tempat-tempat tersebut (seperti al-Hijr) tidak boleh didatangi dengan tujuan rekreasi. Jika seseorang tetap mendatanginya, maka wajib baginya untuk menghadirkan rasa takut dan mengambil pelajaran.”
(Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, Juz 18)
Ironi dan Penyimpangan Tujuan
Mengunjungi tempat yang telah jelas disebutkan dalam hadis sebagai wilayah azab, kemudian menjadikannya tempat bercengkerama, berswafoto, bahkan menikmati konser musik, sungguh merupakan bentuk pembalikan nilai yang sangat memprihatinkan. Lebih ironis lagi, hal ini sering dipromosikan dalam paket-paket “wisata islami” yang disandingkan dengan ibadah haji atau umrah.
Bukankah ini seperti merayakan kejatuhan moral kaum terdahulu di tempat mereka dibinasakan?
Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Shalih al-Fauzan dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga memperingatkan agar umat Islam menjauhi tempat-tempat tersebut jika tidak dalam rangka studi ilmiah atau ‘ibrah. Bahkan, Majelis Fatwa Saudi sebelumnya telah memperingatkan agar Al-‘Ula tidak dikomersialisasi secara sembarangan tanpa memperhatikan nilai-nilai syar’i yang melekat pada kawasan itu.
Kesimpulan: Antara Adab dan Tantangan
Jika seseorang, setelah mengetahui adanya larangan dari Nabi ﷺ, lalu tetap meniatkan diri untuk mengunjungi Al-‘Ula dengan niat wisata dan rekreasi, bahkan mengabaikan sikap tawadhu’ dan ketakutan kepada Allah, maka itu adalah bentuk pelanggaran adab yang sangat serius. Bukan hanya soal pariwisata, ini soal ketaatan dan penghormatan terhadap sabda Nabi.
Dalam bahasa tegas, ini bisa disebut menantang Nabi, atau paling ringan, mengabaikan peringatannya.
Sudah saatnya umat Islam menimbang kembali, apakah pilihan mereka dalam berwisata justru membawa mereka menjauh dari keberkahan, dan mendekatkan kepada kemurkaan?
Komentar
Posting Komentar